KEBERAGAMAN BUDAYA
Indonesia dengan
Keberagaman Budaya
Indonesia
sebagai negara kepulauan memiliki wilayah yang luas, terbentang dari Aceh
sampai ke Papua. Ada 17.504 pulau yang tersebar di seluruh kedaulatan Republik
Indonesia, yang terdiri atas 8.651 pulau yang bernama dan 8.853 pulau yang
belum bernama (Situmorang, 2006). Di samping kekayaan alam dengan
keanekaragaman hayati dan nabati, Indonesia dikenal dengan keberagaman
budayanya. Di Indonesia terdapat puluhan etnis yang memiliki budaya
masing-masing. Misalnya, di Pulau Sumatra: Aceh, Batak, Minang, Melayu (Deli,
Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, dan sebagainya), Lampung; di Pulau Jawa:
Sunda, Badui (masyarakat tradisional yang mengisolasi diri dari dunia luar di
Provinsi Banten), Jawa, dan Madura; Bali; Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara
Timur: Sasak, Mangarai, Sumbawa, Flores, dan sebagainya; Kalimantan: Dayak,
Melayu, Banjar, dsb.; Sulawesi: Bugis, Makassar, Toraja, Gorontalo, Minahasa,
Manado, dsb.; Maluku: Ambon, Ternate, dsb.; Papua: Dani, Asmat, dsb.)
Selain
itu, di Sumatra dikenal pula suku bangsa Minangkabau, yang menempati Provinsi
Sumatra Barat, sebagian Provinsi Jambi dan Bengkulu, di samping tersebar di
seluruh Nusantara, bahkan sampai ke Semenanjung Malaysia. Orang Minang—sebutan
untuk masyarakat Minangkabau—memiliki budaya yang unik jika dibandingkan dengan
masyarakat suku lain. Mereka terkenal dengan pandai berdagang dan banyak
menjadi sastrawan semasa Balai Pustaka dan Pujangga Baru dan tokoh kemerdekaan
di awal kemerdekaan Republik Indonesia. Keunikan budaya Minang terlihat dari
sistem kekerabatan menurut jalur ibu (matrilineal). Sosok ibu menjadi dasar
penentuan nama keluarga (family). Bahkan, dalam adat Minang selain nama
keluarga berasal dari keluarga ibu, seseorang laki-laki yang sudah menikah akan
diberi gelar adat sehingga, menurut adat yang berlaku di Minang—yang
bersangkutan harus dipanggil dengan gelarnya, bukan nama kecilnya. Misalnya,
seseorang bernama Abdullah yang setelah menikah diberi gelar Sutan Maharajo
(’Sultan Maharaja’) harus dipanggil dengan Sutan atau Marajo, sesuai dengan
pepatah ”Ketek banamo, gadang bagala” (kecil diberi nama, besar diberi gelar).
Di luar Minang biasanya seorang istri akan tinggal di rumah keluarga suami,
sebaliknya di Minang suami akan tinggal di rumah istri. Apabila keluarga
suami-istri ingin membangun rumah baru, lokasinya masih berada di sekitar rumah
orang tua istri (mertua). Dengan demikian, akan berkembang keluarga besar dari
pihak istrinya. Akibatnya, anak akan hidup di lingkungan keluarga istri dan
itulah uniknya budaya kekerabatan di Minang. Sebagai masyarakat yang menganut
agama Islam, budaya Minang terlihat berpadu dengan budaya Islami. Dasar
kemasyarakatan di Minang tertuang dalam prinsip adat, yakni ”adat bersandikan
syarak (aturan agama Islam), syarak bersandikan Kitabullah (Alquran)”. Dengan
demikian, masyarakat Minang memiliki tradisi keberagamaan yang kuat. Biasanya,
tradisi itu tetap dibawa ke mana pun mereka
merantau
ke negeri orang. Di mana pun mereka tinggal, kebiasaan keberagamaan yang kuat
itu masih terlihat. Ada yang agak unik bagi masyarakat Minang, yakni di mana
pun mereka tinggal atau hidup di lingkungan masyarakat lain, mereka mampu
berintegrasi dengan masyarakat setempat. Itu pula yang menyebabkan bahwa di
mana pun di Indonesia kita tidak akan menemukan nama kampung atau kawasan
dengan Kampung Minang. Agak berbeda dengan masyarakat etnis lain, seperti Jawa,
Madura, Bugis, atau Cina akan kita temukan kawasan Kampung Jawa, Kampung
Madurua, Kampung Bugis, atau Kampung Cina. Keberagamaan masyarakat Minang tidak
berbeda dengan keberagamaan seperti masyarakat Aceh, Melayu, Sunda, Madura, dan
Bugis. Etnis itu dikenal dengan penganut Islam yang taat walaupun tidak dapat
dimungkiri bahwa pengaruh teknologi modern berdapak terhadap keberagamaan
masyarakat.
Bali
pun–yang sudah dikenal oleh masyarakat mancanegara–memiliki agama mayoritas
Hindu. Bahkan, pengaruh Hindu mewarnai kehidupan sosialnya. Begitu menyatunya
Hindu dalam kehidupan mereka, kehidupan sosial dan pemerintahan pun dipengaruhi
Hindu. Barangkali tingkat keberagamaan di Bali lebih tinggi jika dibandingkan
dengan tingkat keberagamaan masyarakat dari etnis lain. Hal itu ditandai dengan
setiap aktivitas mereka tidak lepas dari pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
(Shang Widhi) yang terlihat dalam upacara keagamaan (Bagus, 2002). Ada hal yang
menarik lagi di Bali, yakni sistem pertanian yang diatur dalam subak. Dalam
sistem itu setiap sawah mendapatkan jumlah air yang sama sehinga tidak ada
sawah yang tidak mendapatkan jatah air. Hal itu berlaku pada semua perkampungan
yang diatur dalam atruran masyarakatnya. Sistem pengairan seperti itu tidak
ditemukan di wilayah lain di Indonesia.
Agama
pun berbeda-beda. Tidak dapat diingkari bahwa masih ada sistem religi
masyarakat Indonesia yang menganut kepercayaan kepada benda-benda alam (animisme).
Akan tetapi, pada umumnya masyarakat Indonesia menganut enam agama resmi, yakni
Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan yang terakhir diakui Konghucu.
Semuanya hidup berdampingan yang diatur dalam kerukunan hidup beragama. Memang
konsep kerukunan lahir pada masa Orde Baru yang sudah tumbang, tetapi
keberadaannya masih dipertahankan, yakni kerukunan intraumat dan antarumat
beragama. Apalagi sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang ditandai
dengan jatuhnya pemerintahan Soharto, mantan Presiden Kedua Republik Indonesia,
kehidupan masyarakat Indonesia lebih transparan. Setiap orang mempunyai hak
yang sama di negara Indonesia. Hal itu terbukti dengan tumbuh berkembangnya
budaya Cina, termasuk pengakuan terhadap agama Konghucu bagi masyarakat keturunan
Cina di Indonesia. Angin segar itu disambut bahagia oleh masyarakat keturunan
Cina, yang selama ini mereka agak dimarginalkan dalam system pemerintahan Orde
Baru. Dari sudut keagamaan itu, Islam di Indonesia mencapai 87 persen. Dengan
jumlah itu tidaklah berarti bahwa kehidupan sosial politik tidak memperhatikan
keberagaman agama. Di Indonesia tradisi keberagaman agama dalam kehidupan
bermasyarakat
dan berbangsa sangat menonjol. Sebagai warga dengan jumlah mayoritas, umat
Islam di Indonesia sangat memperhatikan kerukunan antarumat beragama.
Prinsip-prinsip agama sebagai pembawa rahmat dan kedamaian untuk seluruh isi
alam sangat mereka perhatikan Hal itu sudah menjadi dasar kemasyarakatan yang
tidak dapat diingkari. Malah, ada masyarakat yang begitu tinggi toleransinya
sehingga gesekan apa pun yang menerpanya tidak akan menggoyahkan sendi-sendi
kemasyarakat yang toleran. Memang tidak dapat disangkal bahwa situasi politik
kadangkala memengaruhi kehidupanan masyarakat yang rukun dan aman. Ada
upaya-upaya untuk memecah belah persatuan bangsa melalui goncangan terhadap
kerukunan umat beragama dengan mencuatkan sentimen keagamaan. Hal itu sengaja
diciptakan oleh orang-orang yang tidak senang dengan kondisi politik yang
stabil. Akibatnya, umat beragama terpengaruh ke dalam konflik tertentu. Kondisi
itu kadangkadang disesalkan oleh masyarakat itu sendiri mengapa mereka
terjerumus ke dalam konflik yang tidak mereka inginkan. Walaupun begitu,
kehidupan rukun yang telah mereka warisi secara turun-temurun mengekalkan
mereka dalam kebersamaan dan kerukunan yang sejati.
POTENSI
KEBERAGAMAN BUDAYA
Walaupun
Indonesia menurut Van Volenholen terdiri dari 19 hukum adat, tetapi pada
dasarnya Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang bermukim di wilayah
yang tersebar dalam ratusan pulau yang ada di Inonesia. Tiap suku bangsa ini
memiliki ciri fisik, bahasa, kesenian, adat istiadat yang berbeda. Dengan
demikian dapat dikatakan bangsa Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya.
Beberapa aspek keberagaman budaya Indonesia antara lain suku, bahasa, agama dan
kepercayaan, serta kesenian. Kekayaan budaya ini merupakan daya tarik
tersendiri dan potensi yang besar untuk pariwisata serta bahan kajian bagi
banyak ilmuwan untuk memperluas pengetahuan dan wawasan. Hal yang utama dari
kekayaan budaya yang kita miliki adalah adanya kesadaran akan adanya bangga
akan kebudayaan yang kita miliki serta bagaimana dapat memperkuat budaya
nasional sehingga “kesatuan kesadaran “ atau nation bahwa kebudayaan yang
berkembang adalah budaya yang berkembang dalam sebuah NKRI sehingga memperkuat
integrasi.
Disatu
sisi bangsa Indonesia juga mempunyai permasalahan berkaitan dengan keberagaman
budaya yaitu adanya konflik yang berlatar belakang perbedaan suku dan agama.
Banyak pakar menilai akar masalah konflik ialah kemajemukan masyarakat, atau
adanya dominasi budaya masyarakat yang memilki potensi tinggi dalam kehidupan
serta adanya ikatan primordialisme baik secara vertikal dan horisontal.
Disamping itu kesenjangan antara dua kelompok masyarakat dalam bidang ekonomi,
kesempatan memperoleh pendidikan atau mata pencaharian yang mengakibatkan
kecemburuan sosial, terlebih adanya perbedaan dalam mengakses fasilitas
pemerintah juga berbeda (pelayanan kesehatan, pembuatan KTP, SIM atau
sertifikat serta hukum). Semua perbedaan tersebut menimbulkan prasangka atau
kontravensi hingga dapat berakhir dengan konflik.
KARAKTERISTIK
BUDAYA NASIONAL
Ki
Hajar Dewantara mengemukakan kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak
kebudayaan daerah, menurut Koentjoroningrat kebudayaan nasional Indonesia
adalah kebudayaan yang didukung sebagian besar rakyat Indonesia, bersifat khas
dan dapat dibanggakan oleh warga Indonesia. Wujud budaya nasional
a.
Bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Sebagai bahasa nasional berfungsi sebagai
lambang kebangga nasional, lambang identitas nasional, alat pemersatu berbagai
suku bangsa dan alat penghubung antardaerah dan antar budaya
b.
Seni berpakaian, contohnya adalah pakaian batik yang menjadi simbol orang
Indonesia dan non – Indonesia, serta pakaian kebaya
c.
Perilaku, misalnya gotong royong (walaupun tiap daerah mempunyai nama yang
berbeda, sambatan, gugur gunung,). Selain gotong royong juga ada musyawarah,
misalnya , sistem aipem pada masyarakat Asmat, atau adanya balai desa tempat
musyawarah tiap desa,atau honai, rumah laki-laki suku Dani serta subak pada
masyarakat Bali. Contoh yang lain adalah ramah tamah dan toleransi. Menurut Dr
Bedjo dalam tulisannya memaknai kembali Bhineka Tunggal Ika dituliskan konsep
Bhineka Tunggal Ika berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951, juga
merujuk pada sumber asalnya yaitu Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Empu
Tantular pada abad XIV. Semboyan tersebut merupakan seloka yang menekankan
pentingnya kerukunan antar umat yang berbeda pada waktu itu yaitu Syiwa dan
Budha. Yang terpenting disini adanya wacana baru yang dikemukakan penulis
tentang semboyan bangsa. Bhineka Tunggal Ika juga ditafsirkan sebagai “Ben Ika
Tunggale Ika “ (baca: ben iko tunggale iko, Bahasa Jawa – red). Kata ‘ben”
artinya biarpun, kata ‘ika’ dibaca iko yang artinya ‘itu atau ini’ dengan
menunjuk seseorang atau sekelompok orang didekatnya atau di luar kelompoknya.
Kata ‘tunggale’ artinya ‘sadulur’ atau ‘saudara’. Jadi kalimat diatas dapat
dimaknai menjadi: Biarpun yang ini/itu saudaranya yang ini/itu dan lebih jauh
lagi, makna dari Bhineka Tunggal Ika adalah paseduluran atau persaudaraan.
Dengan persaudaraan sebagai sebuah keluarga besar yang dilahirkan oleh Ibu
Pertiwi yang bermakna Indonesia. Jadi memang kerukunan dan toleransi merupakan
akar budaya nasional
d.
Peralatan, banyak sekali peralatan, materi atau artefak yang menjadi kebanggaan
nasional misalnya Candi Borobudur dan Prambanan, Monas
HUBUNGAN
BUDAYA LOKAL DAN BUDAYA NASIONAL
Budaya
lokal yang bernilai positif, bersifat luhur dapat mendukung budaya nasional.
Dalam pembangunan kebudayaan bangsa, nilai-nilai budaya positif baik budaya
daerah perlu dipertahankan dan dikembangkan karena justru menjadi akar atau
sumber budaya nasional. Mengingat budaya bangsa merupakan “hasil budidaya
rakyat Indonesia seluruhnya” maka cepat lambat pertumbuhannya tergantung
kearifan peran serta seluruh masyarakatnya. Bagaimana peran keluarga, sekolah
dan pemerintah menanamkan budaya daerah pada generasi berikutnya dan kearifan
generasi muda dalam melestarikan budaya daerah.
SIKAP
TOLERANSI DAN EMPATI
MASYARAKAT
MAJEMUK
Masyarakat
majemuk sering diidentikan oleh orang awan sebagai masyarakat multikultural.
Uraian dari Supardi Suparlan dapat menjelaskan perbedaan tersebut. Masyarakat
majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh
sistem nasional yang biasa dilakukan secara paksa (coercy by force) menjadi
sebuah bangsa dalam wadah nasional. Setelah PD II contoh masyarakat majemuk
antara lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan dan Suriname. Ciri yang
mencolok dan kritikal majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau
pemerintahan nasional dengan masyarakat suku bangsa dan hubungan di antara
masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional.
Menurut
Pierre L. Van den Berghe mengemukakan karakteristik masyarakat majemuk:
(1)
terjadi segmentasi ke dalam bentuk-bentuk kelompok subkebudayaan yang berbeda
satu dengan yang lain
(2)
memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang
bersifat nonkomplementer
(3) kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar
(3) kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar
(4)
secara relatif seringkali mengalami konflik di antara kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain
(5)
secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan dalam bidang ekonomi
(6)
adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain
Disini
Supardi Suparlan melihat adanya dua kelompok dalam perspektif
dominan-minoritas, tetapi sulit memahami mengapa golongan minoritas
didiskriminasi, karena besar populasinya belum tentu besar kekuatannya. Konsep
diskriminasi sebenarnya hanya digunakan untuk mengacu pada tindakan-tindakan
perlakuan yang berbeda dan merugikan terhadap mereka yang berbeda secara
askripsi oleh golongan yang dominan. Yang termasuk golongan askripsi adalah
suku bangsa (termasuk ras, kebudayaan sukubangsa, dan keyakinan beragama),
gender , dan umur
Dalam
menganalisis hubungan antar suku bangsa dan golongan menurut Koentjoroningrat:
(1) sumber-sumber konflik
(1) sumber-sumber konflik
(2)
potensi untuk toleransi
(3)
sikap dan pandangan dari suku bangsa atau golongan terhadap sesama suku bangsa
(4) hubungan pergaulan antar suku – bangsa atau golongan tadi berlangsung
(4) hubungan pergaulan antar suku – bangsa atau golongan tadi berlangsung
Adapun
sumber konflik antar suku bangsa dalam negara berkembang seperti Indonesia,
paling sedikit ada lima macam yakni
(1)
jika dua suku bangsa masing-masing bersaing dalam hal mendapatkan lapangan mata
pencaharian hidup yang sama
(2)
jika warga suatu suku bangsa mencoba memasukkan unsur-unsur dari kebudayaan
kepada warga dari suatu suku bangsa lain
(3)
jika warga satu suku bangsa mencoba memaksakan konsep-konsep agamanya terhadap
warga dari suku bangsa lain yang berbeda agama
(4)
jika warga satu suku bangsa berusaha mendominasi suatu suku bangsa secara
politis
(5) potensi konflik terpendam dalam hubungan antar suku bangsa yang telah bermusuhan secara adat
(5) potensi konflik terpendam dalam hubungan antar suku bangsa yang telah bermusuhan secara adat
MASYARAKAT
MULTIKULTURAL
Multikulturalisme
adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada
kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah
para pendukung kebudayaan, baik secara individu maupun secara kelompok dan
terutama ditujukan terhadap golongan sosial askripsi yaitu suku bangsa (dan
ras) , gender dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan
tangan saling mendukung dengan proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah
kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan
dan komuniti atau masyarakat setempat.
Jadi tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi demikian pula sebaliknya.
Jadi tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi demikian pula sebaliknya.
3.
MEMBANGUN SIKAP KRITIS, TOLERANSI DAN EMPATI DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Dalam mengatasi masyarakat majemuk , Parsudi Suparlan menawari sebuah menyebaran konsep multikulturalisme melalui LSM, dan pendidikan dari SD hingga PT. Alternatif penyelesaian masalah akibat keanekaragaman budaya adalah dengan melakukan strategi kebudayaan dimana memungkinkan tumbuh kembangnya keberagaman budaya yang menuju integrasi bangsa dengan tetap memperhatikan kesederajatan budaya-budaya yang berkembang. Untuk itu komunikasi antar budaya perlu dibangun disertai dengan sikap kritis, toleransi dan empati.
Dalam mengatasi masyarakat majemuk , Parsudi Suparlan menawari sebuah menyebaran konsep multikulturalisme melalui LSM, dan pendidikan dari SD hingga PT. Alternatif penyelesaian masalah akibat keanekaragaman budaya adalah dengan melakukan strategi kebudayaan dimana memungkinkan tumbuh kembangnya keberagaman budaya yang menuju integrasi bangsa dengan tetap memperhatikan kesederajatan budaya-budaya yang berkembang. Untuk itu komunikasi antar budaya perlu dibangun disertai dengan sikap kritis, toleransi dan empati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar